Digra Coffee and Eatery Menjamu OM PMR dalam Event Bedah Buku “Berjuang di Sudut Sudut Tak Terliput
“Suara kita biasa ajah sih. Yang namanya orkes itu, yang terpenting adalah bisa seneng dan happy bareng. Mereka (fans) nggak mikirin dan nggak terpengaruh mau suara bagus atau tidak bagus. Yang penting mereka hapal lagunya terus bisa nyanyi bareng,” terang Ajie.
Berbeda dengan realita sosial kepolisian. Alat negara yang satu ini, mereka harus mengikis citra buruk dimata masyarakat. Suara-suara minor akan stigma polisi masih begitu dominan. Sejatinya, banyak personal dari alat negara ini yang baik.
Baca Juga : Ini Fakta, Yovie Widianto Adalah Pencipta Lagu dengan Stream Terbanyak di Dunia
Sayangnya, publikasi polisi bercitra baik ini sangat minor. Faktanya, realita seperti ini benar-benar nyata adanya di seluruh penjuru negeri ini.
Iqbal Aji Daryono, penulis buku berjudul “Berjuang di Sudut Sudut tak Terliput” menangkap fakta masih banyak personal polisi yang baik, mampu mengurai permasalahan tanpa harus represif.
“Jika dianalogikan ke dalam algoritma sosial media, pembaca kita terjebak dalam cangkang-cangkang polarisasi. Mereka (pembaca) tidak mendapat informasi secara holistik, dan terbatas serta dipengaruhi oleh algoritma,” jelas Iqbal.
Baca Juga : Carlos Vives Tahun Ini Bakal Raih Penghargaan Hall of Fame di Billboard Latin Music Awards
Dari blusukan Iqbal ke 27 provinsi di seluruh Indonesia yang kemudian ia bukukan itu, setiap daerah memiliki karakteristik atau sisi gelap lainnya. Sebut saja Sumatera Selatan dengan tingkat kriminalitasnya, disusul Poso, Sulawesi Tengah dengan terorisnya.
Institusi kepolisian di masing-masing daerah pun mempunyai pendekatan tersendiri untuk mengurai permasalahan. Itu sebabnya ada yang namanya Polisi Ustadz, Polisi Medis dan lainnya. Nama-nama tersebut menjadi bagian setrategi untuk melakukan tindakan secara persuasif dan humanis dalam mengurai masalah.