Menuju Ekosistem Kopi Indonesia yang Berkelanjutan
Ada isu tambahan untuk Vietnam. Penggunaan pupuk yang berisi pestisida yang melebihi ambang batas yang diijinkan menyebabkan sebagian negara anggota Uni Eropa membatalkan impor dari Vietnam. Bahkan Nestlé ingin mengambil kopi dari Lampung.
Bagaimana dengan Indonesia?
Diskusi makin menarik ketika tuan rumah Daroe Handojo menawarkan kami untuk mencicipi kopi Kintamani. Langsung disangrai dari laboraturium kopi miliknya. Melalui proses sangrai ukuran medium, keasaman yang bright, dengan campuran vanilla dan gula merah. Rasanya top!
Baca Juga : Kopi Indonesia di AS Surplus, Ini Nilai Ekspornya
Bunyi suara mesin kopi yang lumayan berisik, ternyata tidak menggoyahkan kami untuk bicara. Semua peserta diskusi sepakat bahwa Indonesia tidak boleh larut dalam kondisi seperti ini, karena kondisi harga kopi seperti ini bisa saja hanya bertahan sebentar. Sementara kami ngobrol, Mas Toro membagikan kopi Kalosi Enrekang, jenis kopi Arabika yang lezat (artisanal delicacy) dari Sulawesi.
Daroe Handojo berpesan bahwa sudah saatnya petani, koperasi dan produsen meningkatkan kualitas pengolahan kopinya. Pemerintah juga harus jeli melihat kondisi seperti ini, sebab beberapa perkebunan milik warga belum mencapai puncak panennya. “Pemerintah harus mencari akal agar bagaimana produksi panen bisa meningkat sebaik mungkin,” ujar Daroe.
Baca Juga : Pendekatan Dialog, Menjadi Kunci Eksistensi Kopi Indonesia di Chicago
Pandangan ini mirip dengan pendapat Suryono, presiden ALKO Koperasi Kopi di Jambi. Kami ngobrol per-telpon sehari sebelumnya. ”Kita perlu menyadari bahwa saat ini siklus panen sering berubah. Tidak ada lagi panen raya. Tidak ada lagi panen serempak yang beberapa tahun sebelumnya terjadi di Jambi dan Sumatera Barat,” ujar Suryono.
Untungnya menurut Suryono para petani di kaki gunung Kerinci masih menahan diri tidak menggunakan pestisida guna untuk menumpas hama penggerek Buah Kopi (PBKo)-Hypothenemus hampei.